“Catatan Si Padang” dalam Catatan Pementasan Teater oleh Nasrul Azwar

 

"Catatan si Padang" dalam Catatan Pementasan Teater

Oleh Nasrul Azwar

 

Karya seni panggung adalah kerja penyutradaraan dengan segenap elemen pendukung, termasuk naskahya. Sekaitan dengan naskah, batasan sederhana begini saja: Apabila naskah itu mampu membuka tafsir dan memberikan keleluasaan bagi penyutradaaraan—lebih-lebih jika menghasilkan efek-efek lain—dapat dipastikan naskah drama dengan varian corak yang beragam itu, memungkinkan sebuah lakon sebagaimana diimajinasikan, dicitrakan, dan diabtraksikan penulis naskah, dalam teks dan peristiwa panggung bisa saja di luar ekspektasi dan mengagumkan. Relasi naskah dengan pementasan seni teater. Ia Inheren.     

Jacques Copeau, seorang sutradara, produser, aktor, dan dramawan kelahiran Prancis pada 4 Februari 1879 dan meninggal dunia pada 20 Oktober 1949, dalam tulisannya berjudul “Dramatic Economy” menyebutkan, adalah benar bahwa penciptaan sebuah karya dramatik dalam kata-kata dan mengangkatnya ke atas pentas dengan aktor-aktor yang hidup, tak lain merupakan dua fase daripada kerja intelektual yang sama. Kita tahu, naskah yang baik, sebuah lakon yang ditulis sebaik-baiknya untuk permainan di pentas, berisikan ruang waktu, dan ia harus mampu menghidupkan ruang dan fase waktu. Maka, siasat pentas itu pada dasarnya sangat berkaian dengan siasat dramatik dan penyutradaraan memainkan peranan penting dalam kerja dan proses kreatif teater.

Saya sedang tidak membantah apa yang dikatakan Jacques Copeau tapi kutipan itu saya pakai untuk membaca 65 menit “Catatan Si Padang” yang dipentaskan selama tiga hari, 23-25 Oktober 2021 di Gedung Genta Budaya, Padang oleh Komunitas Seni Nan Tumpah berdasarkan naskah yang ditulis Muhammad Ibrahim Ilyas.

Kendati masih dalam kondisi pandemi Covid-19—dengan penerapan protokol kesehatan—gedung yang hampir 20 tahun tak lagi digunakan untuk aktivitas pementasan seni, selama 3 malam dibanjiri penonton pencinta seni di Kota Padang. Gedung Genta Budaya yang bersejarah itu berdenyut lagi. Banyak juga pejabat yang ikut menyaksikan pertunjukan yang merupakan salah satu dari 13 titik simpul rangkaian Festival Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia yang diinisiasi Dirjen Kebudayaan ini. Terlihat riang gembira menikmati “Catatan Si Padang” yang disutradarai Mahatma Muhammad antara lain Wakil Gubernur Sumatra Barat Audy Joinaldy, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Restu Gunawan, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatra Barat Gemala Ranti, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Undri, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Teguh Hidayat.

Selain para pejabat-pejabat kebudayaan itu, juga tampak khusuk dan antusias para aktivis seni dan budaya menyaksikan pementasaan berkonsep kolaborasi lintas seni ini antara lain budayawan Edy Utama, Yusrizal KW (pegiat sosial budaya), Della Nasution dan Mila K Sari (perempuan sutradara teater), Muslim Nur dan Kardi Uwo (aktor), Rizal Tanjung dan Ary Sastra (sutradara), Aprimas (perupa), Hernawan dan Syarifuddin Arifin (sastrawan), Sheiful Yazan (akademisi), Ragdi F. Daye (penulis), Iggoy El Fitra dan Ganda Cipta (jurnalis budaya), dan lainnya.

Kembali kepada “Catatan Si Padang”. Dalam buku acara yang dicetak eksklusif terkesan “mewah” berwarna setebal 56 halaman—untuk buku acara kegiatan harus diakui Komunitas Seni Nan Tumpah memberi perhatian sangat serius dan sungguh-sungguh dibanding institusi budaya yang isi buku acaranya serampangan malah kadang tak punya buku acara sama sekali—saya tak menemukan morfem tunggal bernama “teater” sepanjang lembarannya. Saya memberi tekanan bahwa tidak terteranya kata “teater” menurut saya memang sudah direncanakan dan disiapkan yang tentu saja dengan beragam pertimbangan serta alasan dari pengonsep “Catatan Si Padang” walaupun saya tidak menemukan argumentasinya. Mungkin satu-satunya terkait kata ‘teater’ ada pada halaman 5 dalam buku acara yang ditulis ‘teaterikal’ (ini mungkin maksudnya ‘teatrikal’ karena dalam bahasa Indonesia istilah ‘teaterikal’ tidak ada).

Sependek pembacaan saya terhadap penjelasan yang diuraikan dalam proses kreatif maupun pemaparan komprehensif dari Rijal Tanmenan dengan judul “Merakit Cacatan Si Padang”, kata kunci “teater” telah dilesapkan sehingga menjelma menjadi seni pertunjukan.  

Lalu mengapa hal ini perlu saya singgung? Bukankah “Catatan Si Padang” yang ditampilkan Komunitas Seni Nan Tumpah itu merupakan sebuah karya seni pertunjukan dengan mengolaborasikan pelbagai disiplin seni ke atas panggung jika mengacu pada batasan yang sudah jadi kesepakatan bersama tentang ‘seni pertunjukan’?

Dalam kadar yang sederhahan, seni pertunjukan merupakan sebuah karya seni panggung yang kompleks karena melibatkan berbagai jenis karya-karya seni lainnya, seperti seni peran, tari, rupa, instalasi, rias, musik, make up kostum dan lainnya. Intinya, seni pertunjukan disangga pelbagai seni-seni lain dan tidak berdiri sendiri. “Catatan Si Padang” mengemban semua itu. Pada penjelasan ini, tentang seni pertunjukan barangkali tak ada perbedaan yang mencolok di antara kita. 

 

Teater yang Dilesapkan

Informasi yang saya terima, ada 81 orang terlibat dalam proses dan persiapan untuk pementasan “Catatan Si Padang”. Mengelola dan menata jumlah orang sebanyak itu untuk kebutuhan kerja kesenian bukan kerja kecil dan enteng. Barangkali, sepanjang sejarah grup atau kelompok seni di Sumatra Barat, apa yang dilakukan manajemen Komunitas Seni Nan Tumpah—sepanjang yang saya tahu—ini baru pertama kali melibatkan sebanyak 81 orang dalam sebuah produksi karya seni. Jikapun mau dibandingkan dengan Bumi Teater—taruhlah pementasan teater “Imam Bonjol” dalam Festival Istiqlal Jakarta tahun 1995 dan “Wayang Padang” pada 2006)—keterlibatan orang dalam proses produksi tidak sebanyak ini. 

Saya memahami pemaparan dalam buku acara dan juga ditambah mengobrol dengan sutradara “Catatan Si Padang” Mahatma Muhammad, lesapnya morfem tunggal ‘teater’ dalam garapan ini—menurut saya—karena tuntutan dan kebutuhan serta konsekuensi konsep garapan yang ditujukan untuk perekaman media baru (audio-visual) yang tentu saja proses kreatif “Catatan Si Padang” adaptif dengan disiplin broadcasting dan sederet tuntutan peranti perekaman media baru itu. Tapi tulisan ini tidak sedang membandingkan dua pementasan “Catatan Si Padang” dalam kapasitas yang berbeda itu. Kendati demikian, saya meyakini tidak ada perbedaan yang signifikan antara pementasan “Catatan Si Padang” untuk kebutuhan perekaman media baru yang menghabiskan waktu selama 4 hari dengan yang dipanggungkan secara langsung untuk tontonan publik selama 3 hari itu.

Pementasan “Catatan Si Padang”, seperti dijelaskan dalam “Proses Kreatif”, melibatkan seniman lintas disiplin bidang seni mempersatukan titik dan perspektif beragam, kreator, tari, musik, rupa instalasi, seni tradisi, audio-visual, dan sebagainya dalam satu genggaman kreatif di tangan Mahatma Muhammad. Bukan saja hanya lintas disiplin seni, “Catatan Si Padang” juga mengawinkan lintas generasi dan usia, serta mengkolaborasikan berbagai komunitas-komunitas seni di Sumatra Barat. Ada Galang Dance Company, Impressa Dance Company, Ruang Fine Art Villa A, Teater Imaji, 3 Am Studio Padang, Lembar Seni, Sarimata, Rotan Artwork Padang, dan Grup Maena dan Balance Rancak Basamo.

Selanjutnya, “Catatan Si Padang” bukan saja persenyawaan lintas disiplin seni, komunitas, lintas generasi dalam satu panggung, tapi juga mengemban lintas zaman, fase, dan perjalanan lintas kultural yang pluralisme, akulturalisasi yang gemilang serta jalur ekonomi perdagangan rempah-rempah di Pantai Sumatra, termasuk jalur bandar pelabuhan di Kota Padang, pampat dalam durasi 65 menit di pentas Genta Budaya yang sebelumnya kumal menjelma elegan.

Maka dengan kerja seni kolaboratif dan padatnya beban yang dibawa itulah—setelah melewati proses selama 3 bulan—Komunitas Seni Nan Tumpah dan tentu saja sutradaranya menamakan pementasannya “seni pertunjukan Catatan Si Padang”, bukan pementasan teater “Catatan Si Padang”. Pelesapan seni teater yang dominan diganti penyebutannya dengan seni pertunjukan—saya belum melacak sejak kapan ini ambil alih di Tanah Air ini—bagi saya berpotensi mengaburkan pemaknaan cabang-cabang seni yang spesifik dan khusus, katakanlah seperti teater, musik, tari, seni tradisi, seni rupa, dan seterusnya. Pengertian ‘seni pertunjukan’ terlalu umum dan luas sehingga mengurai dan mengidentifikasinya bisa salah kaprah dan bias. 

Maka, saya cenderung menyebut pementasan “Catatan Si Padang” sebagai pementasan teater walaupun dalam pemaknaan tertentu bisa disebut juga seni teater agar maknanya lebih khusus dan fokus, tidak general. Tentu saja, penyebutan demikian ini tidak diartikan salah-benar, baik-buruk, dan dikotomis pementasan tersebut.

Maka, di sinilah sebenarnya relevansi pernyataan Jacques Copeau yang saya kutipkan di atas dengan peristiwa teater dalam pementasan “Catatan Si Padang”. Selain mereferensi kepada teks yang ditulis Muhammad Ibrahim Ilyas—sutradara Mahatma Muhammad menyebutnya ‘teks dramatik—pementasan ini telah membawa semua anasir teater itu sendiri: laku, teks tulis, karakter, adegan, plot, dan spektakel cukup baik kendati ada simbolisasi anatomi terkesan kurang logis ketika muncul seseorang di atas panggung yang mengenakan pakaian seragam sekolah menengah tingkat atas lengkap dengan atribut hari ini, yang menurut saya tidak ada sama sekali relevansi keterkaitannya dengan konteks peristiwa teater yang sedang berlangsung. Saya kira ini semata “kecelakaan” panggung.    

Sisi lainnya, perkara penggelapan panggung saya memahaminya karena sejak awal proses dan kerja penyutradaraan pementasan teater “Catatan Si Padang” sudah dikesankan tegas untuk kebutuhan perekaman ke media baru yang akan ditonton secara daring (dalam jaringan). Kebutuhan awalnya bukan untuk dipentaskan secara luring. Makanya, ketika teater “Catatan Si Padang” disaksikan secara langsung sebagai sebuah pementasan utuh, masih dirasakan sebagai sebuah peristiwa teater selaksa dalam perekaman. Penjedaan yang dilakukan untuk membuat peristiwa-peristiwa baru dengan menggelapkan pentas, seolah penonton diajak sejenak menghela napas untuk masuk ke dalam peristiwa berikutnya.   

Pementasan “Catatan Si Padang” sepanjang 65 menit durasinya—dua kali saya saksikan, tanggal 23 dan 25 Oktober 2021—menggenapi semua unsur-unsur teatrikal panggung dan teks kenaskahannya. Bagi saya, “Catatan Si Padang” ini adalah pementasan teater yang fenomenal sepanjang satu dasawarsa terakhir di Sumatra Barat sekaligus menelan biaya produksi pementasan yang cukup besar untuk satu produksi karya.

Kendati begitu, satu hal yang sangat layak diapresiasi ialah kerja penyutradaraan yang menafsirkan teks dramatik Muhammad Ibrahim Ilyas bukan sebagai pedoman untuk panduan dan petunjuk hadirnya sebuah pementasan. Singkatnya, teater “Catatan Si Padang” bukan semata alih wahana dari teks tertulis ke atas panggung sebagai perwujudan pementasan teater tanpa melakukan tafsir, revitalisasi, dan rekonstruksi artistik. Mahatma Muhammad berhasil membangung otoritas dirinya secara otonom terhadap teks dramatik sehingga pementasan “Catatan Si Padang” tidak mungkin lagi dibaca sebagai perpanjangan tangan panulisnya.  

Selain itu, pementasan “Catatan Si Padang” tidak semata mendedahkan secara faktual fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah di Kota Padana tapi juga memanggungkan “teks-teks” surealisme yang didialogkan antarlaku, yang sesunguhnya sepanjang pementasan lakon tampak masing-masing sedang bermonolog. Membaurnya antara fakta historis dengan peristiwa imajinatif-puitik di atas panggung teater “Catatan Si Padang” membuat saya harus melompat-lompat memaknainya. Relasi fakta sejarah dengan peristiwa fiktif imajinatif-surealisme (yang direpresentasikan dengan dialog-monolog lakon), tentu membutuhkan “perangkat lain” saat mencernanya.

Untuk contoh salah satu teks yang diucapkan salah seorang pelakon: “Anakku, anakmu, berdebat tentang Indonesia subur atau Indonesia pusaka. Lagu mana yang akan dinyanyikan dan kotak suara mana yang akan dikosongkan, ragam warna jadi kelam. Siapa kolam susu atau tongkat kayu dan batu?”

Teks yang dilontarkan salah seorang lakon ini “memporakporandakan” kenikmatan saat menyimak jalannya kisah “Catatan Si Padang” tapi artikulasi panggung membuka lebih leluasa ruang-ruang interpretatif baru. Justru yang agak mengusik keutuhan jalannya peristiwa teater ialah ketika panggung digelapkan sekian detik untuk menandai penukaran atau pergantian peristiwa yang dikontruksi di atas pentas.

Maka, apa yang dihadirkan “Catatan Si Padang” sangat tepat membacanya seperti yang dikatakan Eugenio Barba, penulis Italia dan sutradara teater kelahiran 29 Oktober 1936 di Brindisi, Italia. Eugenio Barba mengatakan, kata “teks” sebe­lum menunjukkan teks ter­tulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”.

Menurutnya, apa yang berhu­bungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, bekerjanya sebuah laku dalam pementasan. Barba menjelaskan, sulit mem­bedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyu­tradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas lewat penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Menilik sebuah hasil garapan teater, yang meng­hasilkan pementasan yang teatris, penonton akan berha­dapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”. []


Nasrul Azwar, jurnalis

 

----------------------------------------------------

 

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Sumbarsatu.com

Post a Comment

0 Comments