Pengantar Kuratorial Pekan Nan Tumpah 2021 oleh Rijal Tanmenan

 



Seni: Antara Tragedi dan Selebrasi

Oleh Rijal Tanmenan

PELAKSANAAN perhelatan seni Pekan Nan Tumpah (PNT) sebagai kegiatan pokok berkalender dwitahunan Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) kali ini tidak biasa dari resepsi sebelumnya. Pertama, gelaran Keenam PNT 2021 diselenggarakan pada tahun 2022 ini. Kedua, tema utama yang digulirkan sangat terhubung dengan kondisi terkini yaitu berangkat dari titik pijak peristiwa yang sama, dengan mengusung tajuk "Pandemi Haha Hihi: Lain Sakit Lain Diobat".

Pandemi yang ditandai oleh ketegangan terus menerus, telah menyita banyak perhatian khalayak ramai bahkan dunia, yang dengannya menunjukkan bahwa telah terjadinya suatu realitas mendalam yang menyiratkan ikhwal 'perubahan mendasar'. Perubahan-perubahan itu lantas mencipta suatu lanskap seni-berkesenian baru yang –dalam pandangan sementara orang—, lebih halus dan tidak sesederhana memperkirakannya, kendati beberapa narasi lainnya tetap konstan.

Kemunculan ragam pandangan atau berbagai macam persepsi; baik secara pribadi, komunitas, atau masyarakat luas di tingkat lokal, nasional, maupun global berkenaan dengan keadaan yang menimpa saat sekarang ini, membawa kita (umat manusia) bersepakat atas kondisi bahwa musibah atau bencana non-alam Pandemi ini adalah tragedi.


Tragedi dan Estetika*

BARANGKALI kita masih ragu-ragu memberi putusan bahwa tragedi mempunyai kecenderungan untuk berkaitan dengan berbagai unsur keindahan. Atau, adakah kemungkinan perihal estetika dapat diresapi dari tragedi? Atau, dapatkah dalam tragedi dihikmahi sifat indah yang melekat pada dirinya?

Suatu 'ciri lain' yang lebih positif dari tragedi: ia menciptakan ketertiban, ia adalah ketertiban. Ketertiban yang dituntut oleh tragedi adalah mutlak. Penyimpangan dari ketertiban itu –bagaimanapun kecilnya, menyebabkannya kehilangan sifatnya dan menjadikannya tidak berharga, yang merusak pesona dan sifat indahnya.

Maka tidak disangsikan lagi bahwa didalam keterikatan yang erat ini dengan pengertian ketertiban, terletak sebabnya: mengapa tragedi untuk sebagian besar tampaknya terletak dalam bidang estetika. Bahwa tragedi mempunyai kecenderungan untuk indah. Faktor estetik itu barangkali identik dengan dorongan yang memaksa untuk menciptakan bentuk yang tertib, yang meresapi tragedi dalam segala perwujudannya.

Sejumlah istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk kepada unsur-unsur tragedi, untuk sebagian besar terletak dalam bidang estetika, yang dengannya kita juga mencoba mengungkapkan efek-efek keindahan, diantaranya: ketegangan (tension), ketergugahan (inspire), keseimbangan (balance), selingan (interval), kontras, variasi, jalinan cerita dan perkembangannya, serta penyelesaian.

Dua hal yang paling tinggi dari tragedi, yaitu mengikat dan membebaskan. Dan yang oleh manusia dapat diamati dalam segala sesuatu perwujudannya, dan yang mengekspresikan kedua sarat tersebut sehingga tragedi itu memukau, menakjubkan, menyihir, artinya: ia mempesona.

Diantara berbagai kualifikasi yang berlaku bagi tragedi, adalah ketegangan (tension) yang bahkan menduduki tempat sangat khusus dan penting dalam tragedi. Ketegangan berarti ketidakpastian, tapi juga peluang. Ada upaya untuk meniadakan ketegangan itu, maka sesuatu harus "berhasil", dengan usaha keras (integritas: kreatifitas dan totalitas).

Ketegangan sebagai suatu kualifikasi utama diungkap oleh efek keindahan yang lahir dari rahim estetika, secara alamiah turut mengapresiasi arti dan makna langkah sebagai bagian dari keutuhan gerak yang mencetus progresifitas. Dan yang olehnya juga turut serta menunjukkan telah terjadinya suatu realitas mendalam, yaitu dinamika gerak mencirikan suatu pola yang selalu bergeser (shift), beralih, dan berpindah secara terus menerus dalam satu siklus 'perubahan mendasar'.


Etik Tragedi

UNSUR ketegangan inilah yang memberikan suatu kandungan etik tertentu kepada tragedi, yang pada dirinya sendiri terletak di luar pengertian baik atau buruk, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Sifat tertib dan tegang –yang merupakan ciri khas tragedi, membawa kita kepada pembahasan mengenai aturan.

Karantina (Quarantine), Isolation, Physical Distancing, Social Distancing, Dislocation, dan bermacam jenis pembatasan lainnya dari beberapa aturan yang dibuat, untuk sebagian besar mengarah kepada terciptanya suatu bentuk peredaan atau pencairan (unfreeze) atas ketegangan yang berlaku dan melekat pada tragedi.

Apa yang muncul dari terbentuknya berbagai aturan di era Pandemi adalah konsekuensi logis. Lebih lanjut, Pandemi telah membentuk suatu pola yang sangat efisien untuk membuat orang tetap daring. Percepatan laju transformasi digital maupun perpaduan ekosistem fisikal-digital, menjadi keniscayaan trend yang nyata di tengah dunia saat ini. Dengan sendirinya, etik Pandemi turut menuntut diri untuk mencari apa artinya daya kreasi dalam menghadapi jarak yang tumbuh dari rumah.

Kaitan erat etik-estetik tragedi, dimulai dengan pemahaman yang jelas tentang satu prinsip: beberapa hal berada dalam kendali kita, dan beberapa hal tidak. Hanya setelah kita menghadapi aturan mendasar ini dan belajar untuk membedakan antara apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan, yang dengannya akan membawa kita pada kesadaran laku bahwa etik selalu beriringan dengan kreatifitas yang tumbuh.

 

Kreatifitas dan Empati

SUATU ciri penting dan mutlak yang membawa umat manusia pada kesepahaman bahwa musibah atau bencana non-alam Pandemi ini ialah tragedi, yaitu: tidak terhindarnya dari keharusan menghadapi 'kerapuhan dasar'. Dan yang olehnya turut mengekspresikan kadar kesusahan di layer Pandemi ini tidak persis sama dengan keadaan sebelumnya.

Jamak disebut memang hidup kini cukup sulit, tetapi bukankah seniman adalah manusia teruji yang memang terlatih dengan tragedi? Dan yang olehnya peristiwa Pandemi ini sangat mendambakan seni-berkesenian menjadi harapan paling cerah yang diidamkan di tengah kemelut masa ini, yang menjadi antitesis dari polemik kini. Maka tidak diragukan lagi bahwa di era Pandemi ini dibutuhkan empati yang ditunjukkan lewat karya seni: yang mewakili seni itu adalah sebuah daya, yang menebar nilai (value), kearifan, serta manfaat.

Pada fenomena Batu Akik kita berkesempatan melihat ejaan bahwa pada dirinya sendiri terdapat bakat antitesis ketika berhadapan dengan kenyataan zamannya. Ketegangan –yang juga berarti peluang—, telah "berhasil" dilewati secara kreatif. Batu Akik dengan segala daya pikatnya telah meluaskan dampak nyata. Mulai dari usia anak-anak dan juga dewasa, oleh yang muda maupun yang tua, laki-laki ataupun perempuan, dari tukang sayur hingga insinyur, dari masyarakat kelas bawah-menengah-atas, semua ikut menggandrunginya.

Fenomena benda alam itu berdampak dalam mengisi sisi kehidupan. Ia turut mencerahkan, dan menjadi nilai tawar lain di tengah rumitnya situasi zaman. Kemunculannya mampu melipat waktu untuk sementara. Menggugah umat tidak larut dalam layer kesusahan hidup di eranya. Produk budaya non-teknologi tersebut mampu mencuri perhatian dan memikat hati masyarakatnya. Hiruk pikuk Batu Akik tidak ikut campur dengan setiap agenda pelik masanya. Ia telah menjadi penentu dan penanda bagi zamannya.

Lalu, dapatkah dihikmahi potensi penentu dan penanda zaman dari fenomena Tiktok saat ini? Tidak dipungkiri bahwa partisipasi teknologi dalam segala perwujudan kemutakhirannya, turut memproyeksikan peluang "berhasil" melalui upaya keras untuk meniadakan ketegangan di tengah-tengah Pandemi. Maka patut diperhitungkan bahwa Tiktok ataupun Meme beserta turunannya merupakan produk seni kontemporer termasyhur zaman kini yang berkontribusi besar pada umat secara fakta dan aktual.

Terlebih di masa kini, karena berita dan informasi di media yang tiada henti menampakkan kesuraman. Saat dunia bergelut dengan perubahan drastis dan peralihan selama dua tahun terakhir, Tiktok tidak ikut serta melegitimasi agenda Pandemi. Aplikasi digital ini menjadi nilai tawar lain di tengah getirnya keadaan sekarang. Perhatian masyarakat terpusat padanya, semua ikut menggandrunginya.

Bagi sebagian orang, Tiktok berarti merangkul berada diantara dua dunia (fisikal-digital) seiring bergulirnya realitas yang telah ada. Bagi sebagian yang lain mengalami penyesuaian atas terbentuknya pola baru, yang secara langsung menghadapi apa artinya memiliki pengalaman tubuh (physical experience), bersamaan dengan menyadari bahwa sisi lain fenomena Tiktok telah menyingkap 'perubahan mendasar'.

Fenomena ruang maya itu turut membuat prilaku sosio-kultur semakin hari semakin hidup, dalam arti bahwa pola interaksinya semakin menggairahkan pada tingkat virtual. Dan yang olehnya semakin memungkinkan manusia berinteraksi tanpa terlalu bergantung lagi pada kondisi fisik (riil) serta kaidah nilai. Konsekuensi logis dari produk industri teknologi ini telah membuat pertentangan klasik antara tubuh dan jiwa menjadi terasa purba dan usang olehnya.

Cara kerja Tiktok yang bersifat pengulangan (repetitive), dengan geraknya yang regular dan linear, berciri gimmick (sensasi) dan berujung pada selebrasi, menjadi keniscayaan trend yang nyata dihadapi oleh praktik seni-berkesenian kini. Lintas platform penyajian untuk upaya eksistensi seni hari ini menjadi pilihan, yang menantang nilai tuntunan pada seni itu sendiri.

Seni itu daya –demikian telah kita katakan—, sangat erat kaitannya dengan peningkatan mutu yang lahir dari gerak simultan dan spiral, yang olehnya memberikan pemahaman bahwa seni bukan sekadar tontonan melainkan bernilai tuntunan, yang mempunyai kualitas nilai dan kekuatan lebih dalam hal menggugah kesadaran. Dan yang olehnya dapat terbedakan antara tragedi dengan selebrasi, dimana antara keduanya terpisah dengan jelas seperti siang dan malam.

Upaya melewati ketegangan yang akhirnya benar-benar dapat dianggap berhasil, terletak sebabnya: mengapa etik-estetik tragedi untuk sebagian besar menyimpul pemahaman bahwa kreatifitas adalah kemampuan menggeser hal mustahil menjadi mungkin. Peluang itu menjadikan efektifitas seni bekerja secara mungkin, dan yang olehnya telah ditunjukkan lewat ekspresi kreatif seni mural (street art) salah satunya –sebagai bagian dari rumpun seni rupa—, dengan tagline yang membumi: "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit", "Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan", "Tuhan, Kami Lapar", dan lain sebagainya.

Empati yang timbul atas bakat antitesis dari polemik yang tengah bergulir, mengungkapkan para pengkarya sangat terhubung dengan kelenturannya terhadap lingkungan sekitar –yang menangkap bagaimana, bahkan ditengah-tengah perubahan dan ketidakseimbangan yang luar biasa, mereka memiliki kapasitas tidak terbatas untuk berulang, berkembang, dan bertumbuh.


PERLUASAN gagasan "Pandemi Haha Hihi: Lain Sakit Lain Diobat" sebagai tajuk Keenam PNT 2021 yang dipilih oleh KSNT menjadi cara ungkap untuk mengekspresikan kegelisahan-kegelisahan yang terakumulasi sepanjang masa Pandemi. Sebuah rakitan tema yang melewati perenungan kreatif secara intim yang berujung pada bahasa seni-berkesenian –serta bagaimana para pengkarya menempatkan daya dan semangat 'ini dan itu' pada kedudukan semestinya.

Atas serapan prilaku absurd: menertawakan hal sederhana yang luput dari pencermatan, hingga menyederhanakan hal rumit secara cermat. Absurditas yang muncul selama masa Pandemi seperti kegagapan atas adaptasi teknologi ketika berhadapan dengan platform digital; zoom meeting, penampilan daring, dan lain-lain, sebagai kondisi nyata hari ini.

Pandangan ini tidak untuk mencurigai bahwa selama masa pandemi para pengkarya tidak berkreasi—bereksplorasi—bereksperimentasi metode dalam menghadapi kenyataan. Melainkan pandangan ini menjadi cara para pengkarya untuk mendekati pengalaman mereka dan memosisikannya ke dalam prilaku artistik ketika berhadapan dengan tajuk yang menyimpan berlapis pengendapan kreatif; apakah seni saat ini akan berkontribusi untuk khalayak banyak? dan, apakah seni hari ini masih akan hadir dengan niat usali (murni dan alami) dalam mencerahkan kehidupan kini –sebelum bicara untuk nanti?

Berangkat dari tajuk "Pandemi Haha Hihi: Lain Sakit Lain Diobat" inilah yang kemudian disepakati, diolah, dan disuguhkan KSNT melalui PNT 2021 sebagai bentuk 'kemirisan' dalam arti bahwa pemaparan komprehensif ini menjadi nasehat diri untuk menyasar ikhtiar kreatif atas seni, sekaligus 'kebahagiaan' dalam arti turut merasa suka cita merayakan proses belajar bersama sebagai bentuk ekspresi optimis bahwa seni-berkesenian dapat diharapkan mengabulkan kebutuhan masyarakat –jika memang ini menjadi orientasi bersama (seniman).


Payakumbuh, 31 Januari 2022


Rijal Tanmenan

Etnomusikologi | Pemberdaya Seni


Post a Comment

0 Comments