Komunitas Seni Nan Tumpah: Penguatan Manajemen Kelompok dan Tata Kelola Penonton


Komunitas Seni Nan Tumpah:

Penguatan Manajemen Kelompok dan Tata Kelola Penonton

Oleh Esha Tegar Putra




Sebagai komunitas seni, khususnya teater, Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) menggaungkan “Saraso Sasuaro” untuk rasa kepemilikan komunitas bagi anggotanya. Kini komunitas seni yang beranjak ke usia sembilan tahun itu berupaya untuk mengemas program jangka pendek dan jangka panjang dengan memfokuskan diri pada penguatan manajemen kelompok, tata kelola penonton, dan membangun ekosistem antar kelompok seni di Sumatera Barat. Belum lama ini KSNT juga merilis enam program, termasuk program baru, yang akan mereka jalankan sepanjang tahun 2019.

Beberapa program di antaranya adalah Nan Tumpah Akhir Pekan (NTAP), program yang mengakomodir kegiatan yang digagas oleh anggota internal KSNT, kegiatan ini juga terbuka untuk publik umum yang hendak melaksanakan kegiatan di Nan Tumpah Arena dengan memanfaatkan seluruh sarana dan prasana yang tersedia di KSNT secara gratis. Bentuk kegiatan lebih memprioritaskan kegiatan seni budaya dalam bentuk nonton bareng, diskusi, bedah buku/karya, ataupun aktifitas literasi lainnya. Sesuai dengan penamaan, kegiatan ini diselenggarakan pada hari Sabtu atau Minggu.

Lalu ada program Ke Rumah Nan Tumpah (KRNT). Program empat bulanan yang digagas Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) sejak tahun 2017. Program ini dalam pelaksanaannya melibatkan masyarakat di sekitar sekretariat KSNT, di Korong Kasai, Batang Anai, Padang Pariaman. Bentuk kegiatan berupa pertunjukan seni tradisi, lokakarya, pemutaran film, dan literasi yang diprioritaskan untuk anak-anak dan remaja. Salah satu program unggulan KSNT di tahun 2019 adalah Nan Tumpah Masuk Sekolah (NTMS) yang sudah diselenggarakan sejak tahun 2011. Bentuk kegiatan dari program ini berupa lokakarya seni pertunjukan dan produksi pertunjukan KSNT yang dibawa langsung ke sekolah-sekolah menengah di Sumatera Barat. NTMS digagas KSNT dengan niat memberikan pengetahuan dasar seni pertunjukan serta membangun apresiasi, iklim berkesenian, dan menjaring publik penonton baru di kalangan generasi muda. Sampai pada penyelenggeraan ke-8 di tahun 2018, KSNT telah masuk ke 22 (dua puluh dua) sekolah menengah di Sumatera Barat.

Program lain KSNT adalah pertunjukan Alam Takambang Jadi Batu #2 yang merupakan produksi seni pertunjukan ke-38 KSNT ini, akan dipentaskan pada tanggal 30-31 Agustus 2019. Serta Pekan Nan Tumpah 2019 (PNT 2019), festival seni dua tahunan yang akan diadakan selama sepekan. Festival tersebut lahir untuk mengaplikasikan kerja tata kelola seni dalam manajemen KSNT sekaligus sebagai respon terhadap minimnya festival seni berkelanjutan dan dikelola oleh komunitas seni independen yang ada di Sumatera Barat. Bentuk kegiatan mengedepankan seni pertunjukan kontemporer berbasis tradisi, pameran seni rupa, pagelaran sastra, dan seni media baru dari KSNT dan kelompok/seniman Indonesia yang dihadirkan melalui proses kuratorial. PNT 2019 adalah penyelenggaraan kelima sejak pertama kali diselenggarakan pada 2011.

Kamis (11/4) sore lalu saya bertemu Mahatma Muhammad selaku pendiri dan juga Direktur KSNT terpilih untuk tiga tahun ke depan. Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jalan Raden Saleh, Padang. Ada beberapa pertanyaan yang saya berikan pada Mahatma terkait aktifitas komunitas seni yang dipimpinnya. Mulai dari persoalan bagaimana kelompok mereka memilih pindah dari Kota Padang sebagai basis awal pendirian komunitas mereka, bagaimana mereka memanajemeni program, termasuk persoalan krusial yang selalu dikeluhkan kelompok seni, bagaimana mereka hidup dari aktifitas kesenian mereka.



Kenapa KSNT memilih pindah dari Padang ke Kasai, Pariaman? 

Pada awal pendirian KSNT, kami memang kami tidak memiliki basecamp di Padang. Hanya dapat memanfaatkan fasilitas di Taman Budaya karena kas komunitas tidak ada dana untuk penyewaan tempat. Kami memilih Taman Budaya karena memang merupakan ruang publik. Tapi prosesnya tidak mudah, kami harus memasukkan surat pada UPTD Taman Budaya dan berebut tempat latihan dengan banyak komunitas lain di Padang. Jadi kami memutuskan untuk mengontrak rumah yang murah, alternatifnya, ya, di tempat kami sekarang.

Kasai ruang lingkup baru untuk aktifitas kesenian kontemporer (teater). Ada persoalan baru ketika KSNT hadir di sana? 

Tentu, kami masuk ke lingkungan sangat baru. Rata-rata warga di perumahan tempat kami mengontrak sekarang adalah warga Kasai dan pegawai yang bekerja di Padang. Karena tempat itu adalah perbatasan (Padang dan Pariaman). Aktifitas teater mula-mula menjadi asing, terlebih kami bukan warga asli nagari tersebut. Beberapa warga kadang datang karena latihan sampai jam 12 malam. Kami perlu beradaptasi dengan lingkungan yang ada di situ. Ketika awal pindah kami membuat jadwal latihan 3 kali di Taman Budaya dan 3 kali di Kasai, jelang pertunjukan.

Apa siasat KSNT untuk memberikan pengertian pada aktifitas berkesenian kalian? 

Siasat kami, turut mengundang warga untuk melihat latihan, sosialisasi dengan Ketua RT dan Walinagari. Salah satu program kami, “Ke Rumah Nan Tumpah” juga untuk menyiasati persoalan tersebut. Karena basis teater kontemporer masyarakat kurang paham. Perlu program yang dekat dengan masyarakat semisal lokakarya (menggambar, kriya, teater anak, tari untuk anak-anak) dan pertunjukan seni tradisi yang dapat diterima oleh masyarakat. Pemindahan basecamp ini juga merupakan proses regenerasi. Kami berpikir dari awal, nantinya akan ada anggota KSNT dari warga sekitar, ada lingkungan baru yang tumbuh dari masyarakat sekitar.

Bagaimana respon masyarakat dengan aktifitas kesenian selama ini? 

Masyarakat sudah mulai menyimak. Di beberapa kasus, karena masyarakat sudah melihat latihan, melihat bentuk, lalu anak-anak berkumpul. Kalau ada pentas di luar kota mereka mulai bertanya-tanya: kenapa tempat latihan sepi saja? Pergi kemana anak-anak KSNT? Kami dianggap juga menjaga keamanan lingkungan karena latihan sampai malam. Jadi warga tidak perlu takut-takut jika ada maling masuk ke lingkungan sana.

Saya merasa program Nan Tumpah Masuk Sekolah merupakan salah satu unggulan dari KSNT. Apa sebenarnya tujuan kalian membuat program tersebut? Apakah untuk regenerasi anggota KSNT? 

Sebenarnya Nan Tumpah Masuk Sekolah adalah upaya untuk membangun iklim berksenian untuk siswa dan penjaringan penonton baru, penikmat baru, pelaku seni baru lima sampai sepuluh tahun mendatang. Kami menyadari ada kesadaran keterputusan regenerasi penonton, tata kelola penonton. Orientasi utama kami untuk sejak beberapa tahun belakangan memang adalah fokus pada tata kelola penonton untuk membangun penikmat seni pertunjukan yang akan datang. Orientasi Nan tumpah fokus pada tata kelola penonton. Kami memulai proses ticketing sejak 2011

Kenapa dengan tata kelola penonton teater di Sumatera Barat? 

Biasanya ada program, sebuah kelompok teater tidak terlalu memikirkan penonton. Kelompok seni berharap yang ada adalah komunitas kesenian, tapi mereka lupa tata kelola penonton. Kelompok seni takut menyebut tiket ketika akan melakukan pementasan. Nan Tumpah sadar, hanya bisa dihitung jari organisasi independen seni, dengan tata kelola yang baik di Sumatera Barat. Karena itu KSNT ingin membangun jejaring penonton baru yang sasarannya di luar ruang lingkup kesenian dan itu bisa dimulai dari bangku sekolah. Kami tidak menemukan kelompok seni yang melakukan tata kelola penonton di luar dari komunitas seni dan institusi seni. Bagaimana dengan penonton, misalnya, dari Fakultas Penternakan, Elektro, dst. itu tidak menjadi sasaran karena memang pada dasarnya kelompok seni kita di Sumatera Barat mereka tidak mempunyai manajemen kelompok yang baik.

Apakah tidak pernah ada tata kelola penonton teater sebelumnya di Sumbar? 

Dari data tulisan yang saya peroleh, beberapa kelompok teater pernah mencoba itu di periode 80-an. Mereka menjual tiket, mereka punya basis penonton, tapi era 2000-an tidak ada jejaknya.

Nan Tumpah Masuk Sekolah salah satunya menggiring wacana itu? 

 Ya, kita berupaya dan mencoba untuk menghargai kerja-kerja kesenian dengan berbayar. Dan itu sasaran dari Nan Tumpah Masuk Sekolah setidaknya beberapa tahun ke depan kita punya penonton baru, publik baru, dan itu keluar dari zona orang-orang kesenian; keluar dari zona nyaman.

Sudah berapa kali program Nan Tumpah Masuk Sekolah berjalan? 



Dari 2011 sudah sembilan kali. Sasarannya SMA. Kami pernah merancang untuk SMP dan SD tapi belum terealisasi sampai sekarang. Sudah 22 sekolah yang kami kunjungi sejauh ini dari Kota Padang, Padang Pariaman, Kota Payokumbuh, kota Padangpanjang, tahun ini target kami Kota Pariaman.

Bagaimana proses Nan Tumpah Masuk Sekolah? 

Proses awalnya adalah pemetaan isu, konsepnya sama, Nan Tumpah bukan milik pribadi. Kawan-kawan yang di bidang sutradara diarahkan menjadi sutradara. Itu kami rencanakan pada Mubes akhir tahun, siapa yang ingin menjadi kreator penyutradaraan menuangkan gagasan, disampaikan pada mubes, lalu dibikin fragmen pertunjukan kecil. Akan dipilih satu dari hasil kesepakatan anggota Nan Tumpah. Yang dibawa ke agenda Nan Tumpah Masuk Sekolah adalah pertunjukan dari Nan Tumpah dan workshop untuk siswa.

Apakah isu Nan Tumpah Masuk Sekolah menyesuaikan dengan kebutuhan siswa? 

Naskah-naskah yang kami pertunjukkan biasanya mengarah ke isu anak sekolah. Ringan dan komunikatif. Pilihan di ruang publik yang tersedia di sekolah dengan setting yang gampang. Kami menjalankan program 2-3 hari. Mengajak beberapa siswa yang berminat untuk workshop. Sifatnya memang isu ingkungan sekolah. Bahkan aktor Nan Tumpah berpakaian siswa SMA.

Bagaimana manajemen keuangan Nan Tumpah, mencukupi untuk pogram dan harian anggota? 

Ini memang persoalan setiap komunitas. Tapi kami melakukan subsidi silang. Anggota Nan Tumpah memang tidak ada honorarium jika kami ada program dan itu sudah kesepakatan bersama. Kami melaksanakan Pekan Nan Tumpah sekali dua tahun dan memungut ticketing juga pertunjukan yang murni dari kami setahun sekali. Sejak 2015 Nan Tumpah diundang festival yang penggantian biaya produksi cukup untuk mengganti biaya program. Ini cara kami untuk menyelamatkan program.

Berapa dana subsidi yang didapat dari program beberapa tahun belakangan? 

Cukup besar. Dari Pekan Teater Nasioanl 2017 yang diselenggarakan Kemdikbud, diluar akomodasi tiket kami mendapat 45 juta rupiah. Dari Silek Arts Festival, 14 juta. Dan ini menyelamatkan kegiatan kami secara swadaya, karena memang ini komitmen Nan Tumpah.

Bagaiamana cara anggota Nan Tumpah bertahan hidup jika tidak dari program? 

Sekarang masa transisi, ada anggota yang tamat kuliah, Nan Tumpah memikirkan SDM yang tetap bertahan berkarya untuk bisa menghidupi mereka. Mereka membuka unit usaha, tapi manajemen di luar Nan Tumpah. Misal, anggota kami membuka usaha On The Way Parfum, pegawainya anggota Nan tumpah. Ada usaha roti, sablon, dst. Minimal ada usaha untuk membeli makan mereka.

Nan Tumpah melakukan penerimaan anggota besar-besaran tiap tahun, apakah mereka bertahan? 

Open recruitment tiap tahun, ini memang program pertama di awal tahun. Kami sadar dalam tata kelola manajemen kelompok tidak bisa untuk mencari anggota pasti untuk bertahan 5 sampai 10 tahun, karena tidak bisa menghidupi mereka, dan terutama mereka adalah mahasiswa. 50 orang mendafatar setiap tahun, setidaknya bertahan 5%, 2-3 orang, tapi mereka yang memperkuat manajemen Nan Tumpah. Ketika mereka masuk ke ruang lingkup masyarakat setelah kuliah, Nan tumpah mendorong.

Apakah ada rencana ke depan untuk mencari ruang tetap untuk KSNT? 

Saat ini kami punya ruang memadai untuk latihan dan proses. Tahun lalu kami mendapat bantuan 270 juta rupiah berupa pengadaan alat dan tenda untuk latihan. Tapi ke depan tentu kami punya rencana mencari tanah kepemilikan sendiri. Dan pelan-pelan dibangun untuk ruang baru dan jika bisa di Padangpariaman. Karena sudah fokus di Padangpariaman. Termasuk orientasi regenerasi dan penyebaran kantong budaya, kenapa harus menumpuk di Padang.

Apakah fokus tata kelola penonton mengganggu proses pencarian estetika berteater KSNT? 

Benar, kami sadar lambat di capaian artistik dan estetika secara keseluruhan karena total membangun kelompok dan tata kelola. Tapi ini adalah pilihan untuk beberapa tahun ke depan. Kami tetap mempelajari capaian estetika beberapa teater di Sumbar, tetap mendiskusikan dan membandingkan dengan proses kami. Tapi tubuh dan pikiran kami harus dibagi. Kami memilih fokus pada membangun tata kelola, dan kami berusaha konsisten meskipun lambat di capaian artistik dan estetika. Tapi ke depan kami akan berupaya menyeimbangkannya setelah target tata kelola kami tercapai.[]

Esha Tegar Putra, Peneliti di Ruang Kerja Budaya

---

Pernah dipublikasikan di Padang Ekspres, Minggu, 14 April 2019

---


Post a Comment

0 Comments